TUBUHNYA kecil, namun bukan berarti lemah dan tidak punya nyali. Itulah
gambaran sosok Teuku Raja Angkasah Putra Teuku Abdurrahman, sahabat
kental Teuku Cut Ali sejak kecil. Ia sangat ditakuti penjajah Belanda
dan disegani kawan seperjuangan. Lincah memainkan pedang, perkasa dalam
berperang dan menguasai ilmu bela diri serta ilmu kebatinan.
Teuku Raja Angkasah mulai memimpin perang melawan
marsose Belanda awal tahun 1925. Tidak sedikit serdadu Belanda jadi
korban, tewas terpenggal pedang. Hampir setiap hari, ada marsose yang
terbunuh. Keadaaan itu membuat militer Belanda kebingungan, bahkan nama
Teuku Raja Angkasah selalu di ujung lidah kolonial.
Merasa dikalahkan, marsose membangun markas militernya di Bakongan, Aceh Selatan, selain lima tangsi (markas) lain di Aceh masing-masing di Jeuram (Aceh Barat), Indrapuri (Aceh Besar), Peurelak (Aceh Timur), Tangse (Pidie) dan Takengon (Aceh Tengah).
Perang di Bakongan menjadi momok bagi prajurit Belanda. Banyak marsose yang ditugaskan di wilayah Selatan Aceh itu hanya tinggal nama.
Serdadu-serdadu Belanda yang tewas terbunuh oleh pasukan gerilya di bawah pimpinan Teuku Raja Angkasah, Teuku Cut Ali dan Raja Lelo diangkut dengan sebuah kapal laut. Kala itu Belanda memberi istilah dengan Kapal Putih. Hampir setiap minggu mayat-mayat marsose diangkut dari Bakongan ke Kuta Raja (Banda Aceh) untuk dikuburkan di Perkuburan Kerkoff, Setui.
Dalam perang di Aceh Selatan, sedikitnya dua komandan perang pasukan Belanda tewas yakni Letnan Monelaar yang dibunuh oleh Teuku Cut Ali, serta Kapten J Paris tewas berduel dengan Raja Lelo.
Teuku Raja Angkasah sendiri memiliki cara dan strategi yang unik saat bertempur melawan Belanda. Sebelum bertempur, dia terlebih dahulu mengirimkan surat tantangan untuk melakukan pertempuran di suatu tempat. Surat itu menjadi senjata pelumpuh mental lawan. Bahkan emosi membuat Belanda terjebak, sering terkurung ketika diserang pasukan Raja Angkasah.
Atas keberaniannya, para pejuang kemerdekaan saat itu menjuluki Raja Angkasah "Harimau Sumatera", julukan itu juga menjadi buah bibir pasukan marsose sehingga Raja Angkasah dijadikan target utama untuk dicari.
Setelah sekian lama bertarung menghadapi Belanda, Teuku Raja Angkasah menghadap Illahi Rabbi. Pahlawan perkasa Aceh Selatan itu gugur di medan perang. Peristiwa syahidnya Harimau Sumatera ini terjadi pada tanggal 18 Desember 1925, Raja Angkasah ditembak pasukan Belanda dari empat penjuru angin di kawasan hutan Gunung Bukit Gadeng, Kecamatan Bakongan.
Sebelum gugur, dua panglima setianya, Gadeng dan Idris, terlebih dahulu mangkat ditembak Belanda di depan mata Raja Angkasah.
Perang Bakongan di bawah Panglima Teuku Raja Angkasah membuktikan upaya menumpas penjajah di bumi Aceh tidak pernah berakhir. Dan Aceh tidak pernah berhasil dikuasai kolonial Belanda secara menyeluruh. Gelora perang terus berkobar melawan penjajahan hingga Indonesia merdeka. Teuku Raja Angkasah dimakamkan di pinggir Sungai Dayah, Desa Buket Gadeng, Kecamatan Kota Bahagia, berjarak sekitar 8 km dari Simpang Keude Bakongan.
Merasa dikalahkan, marsose membangun markas militernya di Bakongan, Aceh Selatan, selain lima tangsi (markas) lain di Aceh masing-masing di Jeuram (Aceh Barat), Indrapuri (Aceh Besar), Peurelak (Aceh Timur), Tangse (Pidie) dan Takengon (Aceh Tengah).
Perang di Bakongan menjadi momok bagi prajurit Belanda. Banyak marsose yang ditugaskan di wilayah Selatan Aceh itu hanya tinggal nama.
Serdadu-serdadu Belanda yang tewas terbunuh oleh pasukan gerilya di bawah pimpinan Teuku Raja Angkasah, Teuku Cut Ali dan Raja Lelo diangkut dengan sebuah kapal laut. Kala itu Belanda memberi istilah dengan Kapal Putih. Hampir setiap minggu mayat-mayat marsose diangkut dari Bakongan ke Kuta Raja (Banda Aceh) untuk dikuburkan di Perkuburan Kerkoff, Setui.
Dalam perang di Aceh Selatan, sedikitnya dua komandan perang pasukan Belanda tewas yakni Letnan Monelaar yang dibunuh oleh Teuku Cut Ali, serta Kapten J Paris tewas berduel dengan Raja Lelo.
Teuku Raja Angkasah sendiri memiliki cara dan strategi yang unik saat bertempur melawan Belanda. Sebelum bertempur, dia terlebih dahulu mengirimkan surat tantangan untuk melakukan pertempuran di suatu tempat. Surat itu menjadi senjata pelumpuh mental lawan. Bahkan emosi membuat Belanda terjebak, sering terkurung ketika diserang pasukan Raja Angkasah.
Atas keberaniannya, para pejuang kemerdekaan saat itu menjuluki Raja Angkasah "Harimau Sumatera", julukan itu juga menjadi buah bibir pasukan marsose sehingga Raja Angkasah dijadikan target utama untuk dicari.
Setelah sekian lama bertarung menghadapi Belanda, Teuku Raja Angkasah menghadap Illahi Rabbi. Pahlawan perkasa Aceh Selatan itu gugur di medan perang. Peristiwa syahidnya Harimau Sumatera ini terjadi pada tanggal 18 Desember 1925, Raja Angkasah ditembak pasukan Belanda dari empat penjuru angin di kawasan hutan Gunung Bukit Gadeng, Kecamatan Bakongan.
Sebelum gugur, dua panglima setianya, Gadeng dan Idris, terlebih dahulu mangkat ditembak Belanda di depan mata Raja Angkasah.
Perang Bakongan di bawah Panglima Teuku Raja Angkasah membuktikan upaya menumpas penjajah di bumi Aceh tidak pernah berakhir. Dan Aceh tidak pernah berhasil dikuasai kolonial Belanda secara menyeluruh. Gelora perang terus berkobar melawan penjajahan hingga Indonesia merdeka. Teuku Raja Angkasah dimakamkan di pinggir Sungai Dayah, Desa Buket Gadeng, Kecamatan Kota Bahagia, berjarak sekitar 8 km dari Simpang Keude Bakongan.
Sumber: medanbisnis
0 comments:
Post a Comment