“Manusia tak akan bisa hidup tanpa hutan, karena hutan menyediakan
air untuk kehidupan. Tanpa hutan, manusia akan mati. Siapapun harus
melestarikan hutan tersisa di Taman Nasional Gunung Leuser, hutan di
Indonesia.”
Begitu ungkapan Rudi Putra, Advisor Forum Konservasi Leuser (FKL),
kala menyampaikan pernyataan sikap dan penandatanganan komitmen menjaga
hutan, alam dan bumi dari kehancuran akibat ulah manusia. Pernyataan
sikap bersama ini dinamakan “Deklarasi Ketambe,” yang disampaikan dalam
Jambore Konservasi Leuser 2015 di Aceh Tenggara, Aceh, Kamis (12/11/15).
Hadir dalam deklarasi perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), Country Director Wildlife Conservation
Society-Indonesia, Noviar Andayani, dan Direktur Sumatran Orangutan
Conservation Program (SOCP), Ian Singleton. Juga, Kepala Balai Besar
Taman Nasional Gunung Leuser, Andi Basrul, dan ratusan organisasi
pecinta alam serta kader konservasi Sumatera Utara-Aceh.
Noviar Andayani, kepada Mongabay, mengatakan, selain
kampanye perlindungan kawasan hutan agar tak dirusak juga penyelamatan
satwa langka dan dilindungi, di Indonesia, terutama TNGL.
Salah satu upaya perlindungan, katanya, lewat penegakan hukum yang
masih kurang maksimal. Bahkan, Undang-undang perlindungan satwa,
dianggap lemah dan tak memberikan efek jera. Untuk itu, langkah utama
dengan merevisi UU Nomor 5 tahun 1990.
“Kami WCS bersama berbagai mitra dan NGO lain, mendukung pemerintah
merevisi UU Nomor 5 tahun 1990. Pasal kritis perlu diubah adalah hukuman
maksimun menjadi minimum,” katanya.
Selain itu, katanya, selama ini pelaku yang terjaring orang lapangan,
secara ekonomi lemah dan tak mempunyai kesempatan lebih luas memperoleh
pendapatan. Jadi, selain penegakan hukum, harus dikembangkan program
penyadaran khusus masyarakat sekitar hutan dan menciptakan lapangan
kerja bagi mereka hingga tak mencari uang dengan merusak hutan maupun
berburu satwa.
Rudi Putra, mengatakan, TNGL bagian tak terpisahkan dari Kawasan
ekosistem Leuser (KEL). KEL ini wilayah terakhir habitat satwa-satwa
langka, dan sumber air bagi kehidupan manusia. “Harus dilestarikan.
Kewajiban semua pihak menjaga, bukan hanya pemerintah, tetapi masyarakat
dan dunia.”
Data mereka, katanya, kerusakan TNGL sekitar 700.000 hektar, 10% atau
60.000-70.000 hektar di Aceh. Penyebab kerusakan, terbesar pembukaan
perkebunan sawit dan kebun lain oleh pemodal serta masyarakat. Juga
pembalakan liar dan pembangunan infrastruktur. Untuk itu, harus ada
mengembalikan hutan rusak hingga berfungsi kembali sebagai penyedia
kehidupan bagi manusia.
Andi Basrul, menyatakan, dengan Deklarasi Ketambe dan dukungan banyak
pihak menjadi semangat bagi BBTNGL. “Saya masih optimis perlindungan
kawasan lebih baik. Karena selain kami, kepolisian, NGO, mitra lain dan
masyarakat serta kader konservasi juga punya konsep sama. ”
Sedangkan Ali Basarah, Wakil Bupati Aceh Tenggara, mengatakan,
komitmen menjaga TNGL tetap terjaga dan bebas kejahatan kehutanan.
Dukungan penuh terhadap BBTNGL dan penegak hukum dari kepolisian maupun
kejaksaan akan ditingkatkan.
“Kalau ada penjabat di Aceh tenggara terlibat merambah atau illegal logging, silakan proses hukum. Saya siap membantu,” katanya.
Namun, dia meminta jangan ada pahlawan kesiangan yang menyatakan
hutan penting hanya untuk satwa bukan manusia. “Itu pernyataan keliru.
Saya gak suka. Mari kita jaga ekosistem taman nasional agar tidak rusak.”
Lihat Videonya disini
0 comments:
Post a Comment