Lutung budeng asal Aceh bernama Nami ini, yang diselamatkan dari bencana tsunami 2004, dirawat di PPS Petungsewu, Malang, Jawa Timur. Foto: Petrus Riski |
Negara dinilai perlu membangun shelter atau pusat penyelamatan
satwa (PPS) khusus untuk menampung dan merawat sejumlah satwa sitaan
dari perdagangan ilegal maupun perburuan liar.
Ketua Profauna Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan, keberadaan
shelter sangatlah penting. Selama ini, satwa sitaan seringkali
dititipkan ke lembaga koservasi atau dibiarkan kurang terurus di tempat
penampungan sementara milik BKSDA.
“Ketika kita bicara penegakan hukum terkait perdagangan satwa liar,
keberadaan shelter menjadi sangat penting,” kata Rosek Nursahid kepada Mongabay-Indonesia di Malang, Jawa Timur, awal minggu ini.
Penitipan satwa liar yang disita dari koleksi pribadi, pasar burung,
maupun perdagangan, biasanya dititipkan di kebun binatang dan taman
safari. Namun, tidak semua lembaga konservasi di Indonesia memiliki
program rehabilitasi. Selain itu, lembaga konservasi lebih suka
menampung satwa yang secara tampilan menarik, sehingga dapat
dipertontonkan kepada pengunjung.
Bagaimana dengan jenis satwa yang tidak menarik dan bermasalah secara
psikologis atau kesehatan? “Mereka banyak terabaikan, tidak adanya
shelter menjadi alasan untuk tidak dilakukannya penyitaan,” lanjutnya.
Pembangunan shelter merupakan keharusan, mengingat Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi konvensi CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).
“Tempat itu tidak untuk komersil. Satwa akan dilepasliarkan kembali
ketika kondisinya sudah baik. Malaysia, Singapura, dan Vietnam memiliki
shelter yang dibangun dengan biaya negara. Bagaimana Indonesia?”
Profauna memiliki Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu, Malang, sejak
2002. Saat ini, ada lima satwa yang dirawat di beberapa kandang besar.
Kebanyakan merupakan jenis monyet atau primata yang mengalami trauma dan
penyiksaan.
Salah satunya, seekor lutung budeng bernama Nami, yang diselamatkan
dari bencana tsunami di Aceh 2004. Saat ditemukan mengapung, Nami penuh
luka dan butuh tiga tahun untuk memulihkan kondisinya. “Dulu, Nami hanya
diam, sekarang sudah mau naik-naik,” kata Harianto, keeper-nya Nami.
Selain Nami, ada dua monyet ekor panjang yang diselamatkan dari aksi
kekerasan warga. Monyet tersebut ditembaki saat memasuki permukiman di
Malang.
Dukungan
Plt. Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa (PDTS) Kebun
Binatang Surabaya (KBS), Aschta Tajudin, setuju dengan ide pembangunann
PPS, khusus satwa sitaan.
Kebun Binatang Surabaya sebagai lembaga konservasi sering dijadikan
alamat penitipan. Kurun waktu 2002-2003, KBS menerima titipan 1.400
satwa yaitu kura-kura batok, biyuku, burung, monyet ekor panjang, ular
sawah, hingga buaya. “BKSDA Jawa Timur tidak memiliki fasilitas
perawatan untuk satwa itu.”
Menurut Aschta, PDTS KBS sudah tidak mampu lagi mengelola satwa
titipan BKSDA, karena terbatasnya tempat dan fasilitas penunjang.
Koleksi KBS saat ini sekitar 2.300 satwa di lahan seluas 15 hektar.
Tujuan KBS adalah breeding. Sedangkan satwa sitaan untuk
dilepasliarkan. “Kami kewalahan karena perlakuannya memang beda. Sejak
2013, kami tidak lagi menangani satwa sitaan yang sakit parah.”
Aschta mengaskan, hingga kini satwa titipan BKSDA masih dirawat di
KBS, dan tidak tahu sampai kapan dipelihara atau dipindahkan. “Biasanya
lama, meski di surat hanya enam bulan dititipkan, faktanya tahunan.”
Keberadaan PPS yang khusus menangani satwa sitaan memang penting.
Terutama di Surabaya dan Jawa Timur keseluruhan yang sering dijadikan
perlintasan perdagangan, apakah dari timur Indonesia atau sebaliknya.
“Spesialisasi dan penanganannya berbeda. Banyak yang tertekan di
perjalanan, jadi tidak bisa digabungkan,” pungkas Aschta.[mongabay]
0 comments:
Post a Comment