KASKUS - Baru-baru ini, Presiden Indonesia Joko Widodo telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk memperbaiki lahan gambut yang rusak akibat kebakaran hutan yang melanda sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan beberapa waktu lalu. Kebijakan itu sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, yang melantik Nazir Foead sebagai Kepala Badan.
Presiden memberikan target sampai akhir 2019, seluas 2 juta hektar gambut harus dipulihkan di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Seperti biasanya, pro-kontra muncul atas kebijakan tersebut. Dua sisi selalu menjadi bandingan, para pegiat lingkungan hidup memandang nilai ekologi gambut sangat tinggi. Akan tetapi di sisi lain, perusahaan perkebunan sawit memadang nilai ekonomi yang lebih penting. Mari kita hitung kedua pandangan tersebut.
Dalam konteks ini, appraisal matematis dibutuhkan untuk mendapatkan diferensiasi nilai untuk kemudian dapat memberikan gambaran nilai ekologis dan ekonomis. Seandainya lahan gambut yang 2 juta ha dikonversi menjadi perkebunan sawit 2 juta hektar, apakah keuntungan dari sawit akan mampu menandingi nilai ekologis gambut sebagai cadangan dan deposit air?
Dari berbagai referensi yang dikumpulkan penulis tentang produktivitas sawit, bahwa dalam setiap hektarnya akan menghasilkan produktivitas Rp 20 juta perhektar pertahun. Asumsinya, produktifitas 20 ton/ha dan harga Tanda Buah Segar (TBS) Rp 1.000 perkilogram. Kemudian dengan mudah kita mengitung bahwa total nilai ekonomi 2 juta hektar sawit adalah Rp 40 triliun pertahun.
Bila kita membaca secara rinci Perpres ini, Presiden lebih menitik beratkan pada aspek ekologis. Berapa nilai ekologis gambut dalam 2 juta hektar sebagai deposit Air? Dari hasil penelitian yang dikeluarkan oleh CIFOR bahwa gambut dapat menyimpan air antara 0,8-0,9 m³ per m³ material gambut. Andaikan rata-rata ketebalan gambut yang 2 juta hektar adalah 3 m dan kemampuan menyimpan air rata-rata adalah 0,8 m³ per m³ material gambut, maka 2 juta hektar lahan gambut, akan mampu mendeposit air sebanyak 2 juta ha x 3 m x 0,8 m³/m³ material gambut = 20.000 juta m³ x 3 m x 0,8 m³/material gambut = 60.000 juta m³ x 0,8 m³/m³ material gambut = 48.000 juta m³ air = 48 Milyar m³ air.
Artinya, gambut 2 juta hektar mampu menyimpan air sebanyak 48 miliar m³. Sebanyak 50 persen dari 48 miliar m³ air dapat dipakai untuk cadangan air, untuk lahan pertanian pertanian nongambut di sekitar lahan gambut tersebut. Nilai nilai ekonomi dari cadangan air yang dapat dipakai selanjutnya 50 persen dari 48 Milyar m³ adalah 24 miliar m³ air.
Angka 24 miliar m³ air punya nilai ekonomi sebanding dengan biomass sebanyak 1/200 x 24 miliar m³ air atau setara dengan bio mass 24 Milyar m³/200 = 120 juta m³ biomass = 120 juta ton biomass.
Taruh saja asumsi rata-rata harga biomass dari pemanfaatan cadangan air gambut ini perkilogramnya adalah Rp. 5.000. Maka total nilai jual biomass sebanyak 120 juta ton x Rp. 5.000,-/kg = Rp. 600 triliun. Kalau pelaku agroforestry mengkonversi dalam konteks penghidupan manusia maka ada berapa banyak Kepala Keluarga (KK) yang dapat menghidupi keluarganya dari nilai ekologis air gambut yang RP 600 triliun tersebut? Andaikan tiap KK untuk hidup layak butuh pendapatan total Rp 50 juta pertahun, maka Rp 600 triliun tersebut dapat dipakai untuk menghidupi sebanyak 12 juta KK.
Pelaku bisnis Sawit mengklaim bahwa sektor ini sekarang dapat menghidupi 6 juta KK dari lahan produktif sawit sebanyak 12 juta hektar. Sementara nilai ekologis 2 juta hektar gambut dari cadangan air dapat menghidupi 12 juta KK. Seandainya ada kebijakan penggunaan cadangan airnya dimanfaatkan untuk pertanian nonsawit di sekitar lokasi gambut, maka sudah dipastikan hasilnya jauh lebih besar dibandingkan dengan pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan sawit.
Dalam berbagai komentar di media, pelaku bisnis sawit lebih banyak menyoroti soal nilai ekonomis dibandingkan perhitungan kerugian lingkungan akibat konversi lahan. Hemat penulis, sebenarnya negara ini mengalami kerugian besar akibat konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit akibat oksidasi CO2 dari pengeringan lahan gambut tersebut. Apalagi resistensi kebakaran karena kekeringan dan jumlah CO2 yang menguap akan terus mengulangi Rekor Dunia Emisi CO2 pada tahun 2015.
Apakah kita akan mengulangi Rekor itu tahun 2016? Dalam berbagai kesempatan Presiden dengan tegas mengatakan untuk tidak mengulangi lagi kebakaran seperti tahun 2015. Akankah Presiden kita dibuat malu lagi dengan kembali mencatat rekor dunia sebagai salah satu top carbon dioxide (CO2) emitters pada tahun 2016 mendatang, yang tentu akan menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia.
Keseriusan pemerintah dalam mengatasi persoalan gambut sudah sepatutnya didukung oleh semua pihak, jangan sampai tunggangan kepentingan bisnis akan menghancurkan keberlangsungan kehidupan dan lingkungan. Sekarang bukan saatnya saling menuding dan mencari kambing hitam dari fenomena yang muncul ke permukaan. Seandainya ada indikator bahwa negara ini didikte oleh asing soal lingkungan hidup, maka dalam BRG ini harus ditempati oleh anak bangsa yang mampu mengemban amanah yang sesuai dengan tuntutan Perpres.
Bahu-membahu menuju menuju Indonesia yaang lebih adil untuk semua pihak dan lebih ramah lingkungan adalah keharusan. Bahwa target yang ingin dicapai oleh presiden sangat besar dan apabila utilisasi sumber daya (resource utilisation) tidak maksimal maka cita-cita hanya tinggal dalam kertas putih yang tak bernilai.
Jika saya bisa memutuskan untuk Indonesia, maka saya akan memilih gambut yang bernilai ekologis. Anda pilih yang mana?(*)
Presiden memberikan target sampai akhir 2019, seluas 2 juta hektar gambut harus dipulihkan di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Seperti biasanya, pro-kontra muncul atas kebijakan tersebut. Dua sisi selalu menjadi bandingan, para pegiat lingkungan hidup memandang nilai ekologi gambut sangat tinggi. Akan tetapi di sisi lain, perusahaan perkebunan sawit memadang nilai ekonomi yang lebih penting. Mari kita hitung kedua pandangan tersebut.
Dalam konteks ini, appraisal matematis dibutuhkan untuk mendapatkan diferensiasi nilai untuk kemudian dapat memberikan gambaran nilai ekologis dan ekonomis. Seandainya lahan gambut yang 2 juta ha dikonversi menjadi perkebunan sawit 2 juta hektar, apakah keuntungan dari sawit akan mampu menandingi nilai ekologis gambut sebagai cadangan dan deposit air?
Dari berbagai referensi yang dikumpulkan penulis tentang produktivitas sawit, bahwa dalam setiap hektarnya akan menghasilkan produktivitas Rp 20 juta perhektar pertahun. Asumsinya, produktifitas 20 ton/ha dan harga Tanda Buah Segar (TBS) Rp 1.000 perkilogram. Kemudian dengan mudah kita mengitung bahwa total nilai ekonomi 2 juta hektar sawit adalah Rp 40 triliun pertahun.
Bila kita membaca secara rinci Perpres ini, Presiden lebih menitik beratkan pada aspek ekologis. Berapa nilai ekologis gambut dalam 2 juta hektar sebagai deposit Air? Dari hasil penelitian yang dikeluarkan oleh CIFOR bahwa gambut dapat menyimpan air antara 0,8-0,9 m³ per m³ material gambut. Andaikan rata-rata ketebalan gambut yang 2 juta hektar adalah 3 m dan kemampuan menyimpan air rata-rata adalah 0,8 m³ per m³ material gambut, maka 2 juta hektar lahan gambut, akan mampu mendeposit air sebanyak 2 juta ha x 3 m x 0,8 m³/m³ material gambut = 20.000 juta m³ x 3 m x 0,8 m³/material gambut = 60.000 juta m³ x 0,8 m³/m³ material gambut = 48.000 juta m³ air = 48 Milyar m³ air.
Artinya, gambut 2 juta hektar mampu menyimpan air sebanyak 48 miliar m³. Sebanyak 50 persen dari 48 miliar m³ air dapat dipakai untuk cadangan air, untuk lahan pertanian pertanian nongambut di sekitar lahan gambut tersebut. Nilai nilai ekonomi dari cadangan air yang dapat dipakai selanjutnya 50 persen dari 48 Milyar m³ adalah 24 miliar m³ air.
Angka 24 miliar m³ air punya nilai ekonomi sebanding dengan biomass sebanyak 1/200 x 24 miliar m³ air atau setara dengan bio mass 24 Milyar m³/200 = 120 juta m³ biomass = 120 juta ton biomass.
Taruh saja asumsi rata-rata harga biomass dari pemanfaatan cadangan air gambut ini perkilogramnya adalah Rp. 5.000. Maka total nilai jual biomass sebanyak 120 juta ton x Rp. 5.000,-/kg = Rp. 600 triliun. Kalau pelaku agroforestry mengkonversi dalam konteks penghidupan manusia maka ada berapa banyak Kepala Keluarga (KK) yang dapat menghidupi keluarganya dari nilai ekologis air gambut yang RP 600 triliun tersebut? Andaikan tiap KK untuk hidup layak butuh pendapatan total Rp 50 juta pertahun, maka Rp 600 triliun tersebut dapat dipakai untuk menghidupi sebanyak 12 juta KK.
Pelaku bisnis Sawit mengklaim bahwa sektor ini sekarang dapat menghidupi 6 juta KK dari lahan produktif sawit sebanyak 12 juta hektar. Sementara nilai ekologis 2 juta hektar gambut dari cadangan air dapat menghidupi 12 juta KK. Seandainya ada kebijakan penggunaan cadangan airnya dimanfaatkan untuk pertanian nonsawit di sekitar lokasi gambut, maka sudah dipastikan hasilnya jauh lebih besar dibandingkan dengan pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan sawit.
Dalam berbagai komentar di media, pelaku bisnis sawit lebih banyak menyoroti soal nilai ekonomis dibandingkan perhitungan kerugian lingkungan akibat konversi lahan. Hemat penulis, sebenarnya negara ini mengalami kerugian besar akibat konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit akibat oksidasi CO2 dari pengeringan lahan gambut tersebut. Apalagi resistensi kebakaran karena kekeringan dan jumlah CO2 yang menguap akan terus mengulangi Rekor Dunia Emisi CO2 pada tahun 2015.
Apakah kita akan mengulangi Rekor itu tahun 2016? Dalam berbagai kesempatan Presiden dengan tegas mengatakan untuk tidak mengulangi lagi kebakaran seperti tahun 2015. Akankah Presiden kita dibuat malu lagi dengan kembali mencatat rekor dunia sebagai salah satu top carbon dioxide (CO2) emitters pada tahun 2016 mendatang, yang tentu akan menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia.
Keseriusan pemerintah dalam mengatasi persoalan gambut sudah sepatutnya didukung oleh semua pihak, jangan sampai tunggangan kepentingan bisnis akan menghancurkan keberlangsungan kehidupan dan lingkungan. Sekarang bukan saatnya saling menuding dan mencari kambing hitam dari fenomena yang muncul ke permukaan. Seandainya ada indikator bahwa negara ini didikte oleh asing soal lingkungan hidup, maka dalam BRG ini harus ditempati oleh anak bangsa yang mampu mengemban amanah yang sesuai dengan tuntutan Perpres.
Bahu-membahu menuju menuju Indonesia yaang lebih adil untuk semua pihak dan lebih ramah lingkungan adalah keharusan. Bahwa target yang ingin dicapai oleh presiden sangat besar dan apabila utilisasi sumber daya (resource utilisation) tidak maksimal maka cita-cita hanya tinggal dalam kertas putih yang tak bernilai.
Jika saya bisa memutuskan untuk Indonesia, maka saya akan memilih gambut yang bernilai ekologis. Anda pilih yang mana?(*)
Sumber: acehtrend.co
0 comments:
Post a Comment